Tinjauan Islam tentang LABA dalam transaksi Jual Beli

Oleh: Ustadz Dr. Ahmad Djalaluddin, Lc. MA.

عن عروة بن الجعد البارقىِّ، أنّ النّبىّ صلّى الله عليه وسلّم أعطاه دينارا يشترى له به شاة، فاشترى له به شاتين فباع إحداهما بدينار وجاءه بدينار وشاة ، فدعا له بالبركة فى بيعه ، وكان لو اشترى التّرابَ لربح فيه (رواه البخاري)

Dari ‘Urwah bin al Ja`di al Bariqi –radliyallahu `anhu- bahwasannya Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- memberinya uang satu dinar untuk membeli kambing. Ternyata, dengan satu dirham itu Urwah bisa membeli dua ekor kambing.

Oleh Urwah, satu ekor kambing dijual dengan harga satu dinar. Setelah itu ia datang kepada Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- dengan membawa satu dinar dan seekor kambing.
Nabi pun mendoakan Urwah semoga jual belinya barakah. Dan seandainya uang itu dibelikan tanah, niscaya mendapat keuntungan pula”. (HR. Bukhari)

Jual beli tergolong uqud al tijarah, akad bisnis untuk tujuan komersil. Dibolehkan mencari laba melalui transaksi al ba`i (jual beli). Bahkan Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- dalam haditsnya yang shahih menyatakan bahwa laba yang diperoleh melalui perniagaan yang mabrur (baik) dianggap sebagai pendapatan terbaik (athyab).

Al Quran maupun Al Hadits tidak menetapkan batasan besaran laba. Pedagang diberi kebebasan menetapkannya, selama tidak ada unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalah.

Bahkan melalui hadits riwayat Bukhari di atas disebutkan bahwa Rasulullah merestuai Urwah bin al Ja`ad yang memperoleh laba hingga 100% dari penjualan kambing.

Juga dikisahkan dalam buku Istiratijiyyah Sittah Rijal al A`mal Haula al Rasul (Strategi Bisnis 6 Sahabat Nabi), bahwa Zubair bin Awwam membeli sebidang lahan seharga 170.000 dirham, kemudian lahan itu dijual oleh putranya –Abdullah bin Zubair bin Awwam- seharga 1.600.000 dirham.

Meskipun tidak ada batasan kuantitatif (material) dari laba, Islam menetapkan batasan-batasan moral. Batasan moral penting diperhatikan oleh para pedagang, sebab bisnis bagi muslim tidak semata berorientasi materi. Bisnis itu jalan ukhrawi bila dipandu oleh moralitas bisnis islami.

Islam memberi kebebasan dalam menetapkan besaran laba, tapi kebebasan ini dibingkai oleh etika dan moral sebagai berikut:

  • Laba tidak diperoleh melalui transaksi ribawi.
  • Laba tidak diperoleh melalui ihtikar (menimbun komoditas kebutuhan pokok agar terjadi kelangkaan sehingga harga naik).
  • Laba tidak diperoleh melalui transaksi yang mengandung gharar (ketidakjelasan kuantitas, kualitas, harga, waktu serahterima).
  • Laba tidak diperoleh melalui ghabn (menipu harga, seperti menaikkan harga kepada yang tidak tahu harga).

Dalam rangka mencari titik temu antara ketiadaanbatasan kuantitatif dengan batasan moral, Imam Al Ghazli -rahimahullah- menawarkan konsep elastisitas permintaan. Menurutnya, mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan.

Beliau tidak setuju dengan laba yang berlebihan dan menekankan bahwa penjual seharusnya didorong oleh laba yang akan diperoleh dari pasar yang hakiki, yakni akhirat.

Wallahu a`lam bisshawab

Malang, 17 Rabiul Awal 1438H

Join Telegram:
http://tlgrm.me/ahmadjalaluddin

Silahkan disebarkan channel Telegram ini, semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah kita. Aamiin,

You might like

About the Author: Administrator

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.